Siapa yang tak ingat nama Ki Hajar Dewantara? Ya, salah
seorang pahlawan nasional yang lahir pada tanggal 2 Mei 1889. Dengan nama kecil
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, namun sejak tahun 1922 nama Raden Mas
Soewardi Soerjaningrat diganti dengan nama Ki Hajar Dewantara. Beliau adalah
salah seorang tokoh yang dilahirkan dari lingkungan keraton di Yogyakarta,
namun rendah hati hingga selalu memiliki pemikiran-pemikiran untuk meratakan
kesempatan pendidikan bagi seluruh lapisan rakyat Indonesia. Buah pemikiran
beliau tersebut bukanlah hal yang mudah dilakukan pada masa penjajahan kolonial
Belanda.
Semasa muda, Ki Hajar Dewantara pernah bekerja sebagai
penulis dan juga wartawan di beberapa surat kabar. Di masanya, beliau tergolong
penulis handal karena tulisan-tulisannya begitu tajam dengan semangat yang anti
penjajahan kolonial. Selain beraktivitas tersebut, beliau juga adalah seorang
kolumnis serta seorang aktivis pergerakan dalam rangka kemerdekaan Indonesia.
Ini terlihat dari aktifnya beliau di seksi propaganda saat berdirinya Boedi
Oetomo (1908) yang bertugas untuk mensosialisasikan dan menggugah jiwa
kesadaran rakyat Indonesia tentang pentingnya persatuan dan kesatuan.
Tulisan paling terkenal dari beliau adalah “Seandainya Aku
Seorang Belanda” (judul asli: “Als ik een Nederlander was”) yang di muat dalam
surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker pada tahun 1913. Artikel tersebut
sangat pedas bagi kalangan pejabat Hindia Belanda. Akibat tulisan tersebut
beliau ditangkap atas perintah Gubernur Jenderal Idenburg dan diasingkan ke
Belanda bersama dengan kedua rekannya, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo
pada tahun 1913. Mereka bertiga dalam sejarah kita kenal dengan tokoh “Tiga
Serangkai” dan Ki Hajar Dewantara saat itu masih berusia 24 tahun.
Di pengasingan inilah jiwa pejuang Ki Hajar Dewantara tumbuh
semakin besar, ini dibuktikan dengan aktifnya beliau dalam organisasi pelajar
asal Indonesia di Belanda dan merintis cita-cita untuk memajukan pendidikan
rakyat pribumi Indonesia di dunia pendidikan. Semangat perjuangan beliau sangat
dipengaruhi oleh ide-ide tokoh pendidikan barat, sehingga menjadi dasar Ki Hajar
Dewantara dalam mengembangkan sistem pendidikan yang akan dikembangkan dalam
cita-citanya.
Sekembalinya dari pengasingan pada tahun 1919, beliau
bergabung dengan sekolah binaan saudaranya dan pengalamannya digunakan untuk
kembangkan konsep belajar di sekolah saudaranya tersebut. Hingga pada tanggal 3
Juli 1922 beliau mendirikan “Perguruan Nasional Tamansiswa”. Taman Siswa adalah
suatu lembaga pendidikan yang bertujuan memberikan kesempatan bagi para pribumi
jelata Indonesia untuk mendapatkan hak pendidikan seperti para priyayi atau
orang-orang Belanda saat masa kolonial itu.
Semboyan yang sangat terkenal dari seorang Ki Hajar
Dewantara adalah “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso dan Tut Wuri
Handayani (dalam bahasa jawa yang artinya: Di depan memberi contoh, Di tengah
memberi semangat dan Di belakang memberi dorongan). Semboyan inilah yang terus
di pakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia hingga kini.
Atas perjuangannya tersebut, beliau diangkat menjadi Menteri
Pendidikan Indonesia yang pertama yang hanya dijabat oleh Ki Hajar Dewantara
selama 3 bulan (2 September 1945 – 14 November 1945). Pada tahun 1957,
Universitas Gajah Mada Yogyakarta anugerahkan beliau gelar doctor honoris causa
dan atas jasa-jasa beliau juga dalam merintis pendidikan beliau juga diangkat
sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan hari kelahirannya dijadikan Hari
Pendidikan Nasional (tertuang dalam SK Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal
28 November 1959).
Begitulah secara singkat kisah hidup seorang Ki Hajar
Dewantara, yang setiap tanggal kelahirannya kita peringati sebagai Hari
Pendidikan Nasional. Nama beliau diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal
perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara dan potret dirinya diabadikan pada
uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998. Ia meninggal dunia di
Yogyakarta tanggal 26 April 1959.
Bercermin dari kisah Ki Hajar Dewantara, bagaimanakah
pendidikan kita sekarang? Apakah sudah tertanam cita-cita pemerataan pendidikan
dari beliau?. Rasanya jauh panggang dari api. Pendidikan yang di amanat UUD
1945 kini sudah hampir menjadi sistem pendidikan kapitalis, dimana pendidikan
menjadi begitu mahal sehingga tidak semua lapisan masyarakat dapat
menikmatinya. Bahkan anggaran pedidikan masih sangat kecil, padahal untuk
menuju negara yang demokratis dan lebih baik adalah dengan menumbuhkan
sebesar-besarnya kelas menengah dan itu hanya bisa diwujudkan dengan
pendidikan.
Jika seorang bangsawan seperti Ki Hajar Dewantara saja
memikirkan pendidikan yang merata untuk seluruh rakyat Indonesia di
tengah-tengah tekanan penjajahan, mengapa kita yang berada di alam kemerdekaan
sekarang tidak bisa mewujudkan cita-cita mulia tersebut? Bukankah negara yang
besar itu tercermin dari bagaimana cara generasi penerusnya dalam menghargai
dan menghormati jasa para pahlawannya?
Konsepsi Pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara
Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki Hadjar
Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan
tentang mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar dewantara mendidik dalam arti
yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni
pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang
merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk
dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah
usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan
membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis).
Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah
“penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia
(humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk
tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik
mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan
demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.
Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal yang
harus dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus
bersinergis satu sama lain. Pengajaran
bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan
kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup
batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas
demokratik).
Keinginan yang kuat dari Ki Hajar Dewantara untuk generasi
bangsa ini dan mengingat pentingnya guru yang memiliki kelimpahan mentalitas,
moralitas dan spiritualitas. Beliau sendiri untuk kepentingan mendidik,
meneladani dan pendidikan generasi bangsa ini telah mengubah namanya dari
ningratnya sebagai Raden Mas soewardi Suryaningrat menjadi Ki hajar dewantara.
Menurut tulisan Theo Riyanto, perubahan nama tersebut dapat dimakna bahwa
beliau ingin menunjukkan perubahan sikap ningratnya menjadi pendidik, yaitu
dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak
guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri
dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan Negara ini. Bagi Ki Hajar
Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian
dan spiritualitas, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan
juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Yang
utama sebagai pendidik adalah fungsinya sebagai model keteladanan dan sebagai
fasilitator kelas.
Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru
yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar
adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan,
sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar
(menjadi perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia
ini). Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati
sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak
Tuhan dan membawa keselamatan.
Menerjemahkan dari konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara
tersebut, maka banyak pakar menyepakati bahwa pendidikan di Indonesia haruslah
memiliki 3 Landasan filosofis, yaitu nasionalistik, universalistic dan
spiritualistic. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang
merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual.
Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu
merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan,
merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh
dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan
adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati,
cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap
individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk
menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan
hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan
dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi
perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan
hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga diri; setiap orang
harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan
kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.
Output pendidikan yang dihasilkan adalah peserta didik yang
berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota
masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan
kesejahteraan orang lain. Dalam pemikiran kihajar dewantara, metode yang yang
sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran
dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara
teknik pengajaran meliputi ‘kepala, hati dan panca indera’ (educate the head,
the heart, and the hand).
Teladan sesungguhnya memiliki makna sesuatu dari proses
mengajar, hubungan dan interaksi selama proses pendidikan yang kemudian pada
hari ini atau masa depan peserta didik menjadi contoh yang selalu di tiru dan
di gugu. Jadi guru teladan tidak ada hubungannya dengan sosok guru yang
senantiasa menjaga wibawa, menjaga ‘image’ dengan selalu menampilkan dirinya
‘ferfect’ dan ‘penuh aturan’ dan kaku di hadapan peserta didiknya.
Dalam sebuah proses belajar, sadar atau tidak maka
‘perilaku’ seorang guru akan menjadi komunikasi (penyampaian pesan) paling
efektif dan pengaruhnya sangat besar (90%) pada peserta didik. Perilaku inilah
yang akan menjadi ‘teladan’ bagi kehidupan social peserta didik. Secara
psikologis pengaruh ‘perilaku’ tersebut adalah pengaruh bawah sadar peserta
didik, yang akan muncul kembali saat ia melakukan aktifitas dalam ‘bersikap’,
‘bertindak’ atau ‘menilai sesuatu’ pada dirinya maupun orang lain.
Jika merefleksikan pada motivasi pendidikan Ki hajar
Dewantara maka seorang guru yang ingin diteladani haruslah melepaskan ‘trompah’
dari jiwa, sikap, dan perilaku mengajarnya. Guru tidak berangkat dari
‘kepahlawanan’ untuk kemudian ‘mendidik’ tetapi dari mendidiklah kemudian dia
layak menjadi ‘pahlawan’ pada hati setiap manusia lain.
Bagaimana agar ketadanan seorang guru berbuah hal yang baik
pada jiwa, sikap dan perilaku peserta didiknya dimasa akan datang, maka seorang
guru haruslah ‘profesional’ dalam pengajaran dan hubungan social. Bukan
professional ‘to have’ tetapi professional ‘to be’. Bukan professional
disebabkan kebendaan (materi) tetapi professional bersumber dari ‘penguasaan
diri’, ‘pengabdian’ dan ‘kehormatan’ diri dan bangsanya. Sehingga dalam
prosesnya ‘mengajar’ akan menjadi cara hidup seorang guru untuk mencapai
kemanfaatan sebanyak-banyaknya melalui ‘pengabdiannya’ dan proses menebarkan
‘kehormatan’ tersebut pada hati, kepala dan pancaindera peserta didiknya.
Proses memindahkan segala’keteladanan diri’ pengetahuan diri
dan perilaku professional seorang guru kepada peserta didik dibutuhkan teknik
yang oleh Ki hajar dewantara disebuat ‘among’ mendidik dengan sikap asih, asah
dan asuh, dibutuhkan guru yang tidak hanya mampu ‘mengajar’ tetapi juga mampu
‘mendidik’. Pada posisi inilah guru juga harus mampu menjadi motivator
dikelasnya. Mengapa motivator? Karena Motivator memiliki kekuatan sinergis
antara mengajar dan mendidik seperti motivasi dari pendidikan KiHajar itu
sendiri.
Urgensitas Pendidikan Karakter dan Revitalisasi Pemikiran Ki
Hajar Dewantara
Ki Hadjar mengartikan pendidikan sebagai daya upaya
memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan
kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam
dan masyarakatnya. Salah satu nilai luhur bangsa Indonesia yang merupakan
falsafah peninggalan Ki Hadjar Dewantara yang dapat diterapkan yakni tringa
yang meliputi ngerti,
ngrasa, dan nglakoni . Ki Hadjar mengingatkan, bahwa
terhadap segala ajaran hidup, cita-cita hidup yang kita anut diperlukan
pengertian, kesadaran dan kesungguhan pelaksanaannya. Tahu dan mengerti saja
tidak cukup, kalau tidak merasakan menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak
melaksanakan dan tidak memperjuangkannya. Merasa saja dengan tidak pengertian
dan tidak melaksanakan, menjalankan tanpa kesadaran dan tanpa pengertian tidak
akan membawa hasil. Sebab itu prasyarat bagi peserta tiap perjuangan cita-cita,
ia harus tahu, mengerti apa maksudnya, apa tujuannya. Ia harus merasa dan sadar
akan arti dan cita-cita itu dan merasa pula perlunya bagi dirinya dan bagi
masyarakat, dan harus mengamalkan perjuangan itu. “Ilmu tanpa amal
seperti pohon kayu yang tidak berbuah”, “Ngelmu tanpa laku
kothong”, laku tanpa ngelmu cupet”. Ilmu tanpa perbuatan adalah kosong,
perbuatan tanpa ilmu pincang. Oleh sebab itu, agar tidak kosong ilmu harus
dengan perbuatan, agar tidak pincang perbuatan harus dengan ilmu.
Berkenaan dengan pendidikan karakter ini lebih lanjut
Suyanto (2010) menjelaskan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan budi
pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan
(feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona tanpa ketiga aspek
ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter
yang diterapakan secara sistematis, dan berkelanjutan, seorang anak akan
menjadi cerdas emosinya, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Sebab
kecerdasan emosi ini menjadi bekal penting dalam mempersiapkan anak masa depan
dan mampu menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil
secara akademis.
Ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai
luhur universal, yaitu (1) karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2)
kemandirian dan tanggung jawab; (3) kejujuran/amanah, diplomatis; (4) hormat
dan santun; (5) dermawan, suka tolong menolong dan gotong royong/kerjasama; (6)
percaya diri dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan keadilan; (8) baik dan
rendah hati; (9) karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Kesembilan
karakter itu, perlu ditanamkan dalam pendidikan holistik dengan menggunakan
metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Hal tersebut
diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan/mencintai dan sekaligus
melaksanakan nilai-nilai kebajikan. Bisa dimengerti, jika penyebab
ketidakmampuan seseorang untuk berperilaku baik, walaupun secara kognitif anak
mengetahui, karena anak tidak terlatih atau terjadi pembiasaan untuk melakukan
kebajikan.
Pemikiran Ki Hajar Dewantara dan Tantangan Guru Hari ini
Lembaga pendidikan dan guru dewasa ini dihadapkan pada
tuntutan yang semakin berat, terutama untuk mempersiapkan siswa agar mampu
menghadapi berbagai dinamika perubahan yang berkembang pesat. Perubahan yang
terjadi bukan saja berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
saja, tetapi juga menyentuh perubahan dan pergeseran aspek nilai moral yang
terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa contoh
penyimpangan-penyimpangan perilaku amoral saat ini diantaranya maraknya tawuran
antar pelajar, perampokan, pembunuhan diserta mutilasi, korupsi, dan isu-isu
moralitas yang terjadi di kalangan remaja, seperti penggunaan narkotika,
perkosaan, pornografi sudah sangat merugikan dan akan berujung pada
keterpurukan suatu bangsa.
Disinilah kunci dari urgensi dilaksanakannya pendidikan
karakter untuk membentengi dari krisis multidimensi pada era globalisasi ini.
Krisis multidimensi dan keterpurukan bangsa, pada hakekatnya bersumber dari
jati diri, dan kegagalan dalam mengembangkan pendidikan karakter bangsa. Dalam
konteks pendidikan formal di sekolah, salah satu penyebabnya karena pendidikan
di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif
dan
kurang memperhatikan aspek afektif, sehingga hanya tercetak
generasi yang pintar, tetapi tidak memiliki karakter yang dibutuhkan bangsa.
Selain itu, sistem pendidikan yang top-down, dengan menempatkan guru untuk
mentransfer bahan ajar ke subjek didik, dan
subjek didik hanya menampung apa yang disampaikan guru tanpa mencoba
berpikir lebih jauh, minimal terjadi proses seleksi secara kritis
(Hamengkubuwon, 2010:3). Russell dan Ratna (2010) mengemukakan bahwa pada taraf
jenjang sekolah dasar, mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter
pun semisal Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan pada prakteknya masih
sebatas teori dan, belum menyentuh pada tataran aplikatif. Praktik pendidikan
yang cenderung kognitif-intelektualistik, perlu direvitalisasi sebagai wahana
pengembangangan pendidikan karakter bangsa, pembangunan kecerdasan, akhlak dan
kepribadian peserta didik secara utuh sesuai dengan tujuan pendidikan nasional
(Sardiman, 2010. Kedaulatan Rakyat)
Upaya untuk mewujudkan peradaban bangsa melalui pendidikan
karakter, budaya dan moral, tentulah sosok Ki Hadjar Dewantara menjadi rujukan
utama. Bapak pendidikan bangsa Indonesia ini telah merintis tentang konsep tri pusat pendidikan yang menyebutkan bahwa
wilayah pendidikan guna membangun konstruksi fisik, mental, dan spiritual yang
handal dan tangguh dimulai dari; (i) lingkungan keluarga; (ii) lingkungan
sekolah; dan (iii) lingkungan masyarakat. Ketika pendidikan di lingkungan
keluarga mulai sedikit diabaikan dan dipercayakan pada lingkungan sekolah,
serta lingkungan social yang semakin kehilangan kesadaran bahwa aksi mereka
pada dasarnya memberikan pengaruh yang cukup besar pada pendidikan seorang
individu. Maka lingkungan sekolah dalam hal ini guru menjadi frontliner dalam
peningkatan mutu pendidikan karakter, budaya dan moral. Sebagai sosok atau peran guru, yang dalam
filosofi Jawa disebut digugu dan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah
ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik. Guru
adalah model bagi anak, sehingga setiap anak mengharapkan guru mereka dapat
menjadi model atau contoh baginya. Seorang guru harus selalu memikirkan
perilakunya, karena segala hal yang dilakukannya akan dijadikan teladan
murid-muridnya dan masyarakat.
Peran guru tidak sekedar sebagai pengajar semata, pendidik
akademis tetapi juga merupakan pendidik karakter, moral dan budaya bagi
siswanya. Guru haruslah menjadi teladan, seorang model sekaligus mentor dari
anak/siswa di dalam mewujudkan perilaku yang berkarakter yang meliputi olah
pikir, olah hati dan olah rasa. Masyarakat masih berharap para guru dapat
menampilkan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai moral seperti kejujuran,
keadilan, dan mematuhi kode etik profesional. Lickona (1991), sekolah dan guru
harus mendidik karakter, khususnya melalui pengajaran yang dapat mengembangkan
rasa hormat dan tanggung jawab. Penanaman dan pengembangan pendidikan karakter
di sekolah menjadi tanggung jawab bersama. Pendidikan karakter dapat
dintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Setiap mata
pelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata
pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks
kehidupan sehari-hari. Pembelajaran nilai-nilai karakter ini tidak berhenti
pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada tataran internalisasi, dan
pengamalan nyata dalam kehidupan anak didik sehari-hari di masyarakat. Hal
tersebut sesuai dengan ajaran hidup Ki Hadjar Dewantara, “Tringa” yang meliputi
ngerti, ngrasa, dan nglakoni, mengingatkan terhadap segala ajaran, cita-cita
hidup yang kita anut diperlukan
pengertian, kesadaran dan kesungguhan dalam pelaksanaanya. Tahu dan mengerti
saja tidak cukup, kalau tidak merasakan, menyadari, dan tidak ada artinya kalau
tidak melaksanakan dan tidak memperjuangkan. Diibaratkan ilmu tanpa amal
seperti pohon kayu yang tidak berbuah.
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia
lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa
yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut
pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu
menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan
perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang
menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik
dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya
menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan
olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang
humanis atau manusiawi.
Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia
yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya,
sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif
untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya.
Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan
berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia
akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri.
Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri
ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.
Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin
menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria
pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual
ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta
didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru
hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru
kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para
peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang
diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau
figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh
karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang
mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah
seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus
masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi
perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini).
Sebagai pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya
adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan
membawa keselamatan.
Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa.
Merdeka baik secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini
dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap
seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan,
demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman Siswa
adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan
rasa merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan
pada aspek-aspek nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan
universalistik. Nasionalistik maksudnya adalah budaya nasional, bangsa yang
merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis, maupun spiritual.
Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu
merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan,
merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh
dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan
adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati,
cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Maka hak setiap
individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk
menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan
hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan
dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi
perbedaan antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan
hendaknya memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan hara diri; setiap orang
harus hidup sederhana dan guru hendaknya rela mengorbankan
kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta didiknya.
Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian merdeka,
sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan
bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode
yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode
pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and
dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah
seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek
kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang.
Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate
the head, the heart, and the hand”.
Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar
(fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan
anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain
(orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan
sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain:
keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan
zaman. Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu:
menjunjung tinggi pekerjaan; menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan,
dan keinginan untuk melayani masyarakat. Dalam kaitan dengan ini penting juga
performance/penampilan seorang profesional: secara fisik, intelektual, relasi
sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator.
Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan
kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.
Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah
memanusiakan manusia muda. Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi
yang lebih manusiawi, berguna dan berpengaruh di masyarakatnya, yang
bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang berwatak luhur dan
berkeahlian. Semoga!
Video Ki Hajar Dewantara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar